Be-songo.or.id

Si Kancil Berlari di Layar, Buku Dongeng yang Terlupakan

Hari Dongeng Nasional (28/11/24) setiap tahunnya mengingatkan kita pada kisah-kisah yang membentuk imajinasi masa kecil, seperti “Si Kancil” yang cerdik dan penuh strategi. Namun, di tengah perkembangan zaman, kisah-kisah tersebut tampaknya mulai kehilangan tempat. Minat membaca buku, terutama buku-buku fisik, semakin tergerus oleh meningkatnya screen time di era kemajuan teknologi yang semakin canggih. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama bagi para santri dan mahasiswa yang berada di persimpangan antara tradisi dan modernitas.

Data dari UNESCO menyebutkan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih tergolong rendah, dengan rata-rata waktu membaca hanya sekitar 6 jam per minggu, jauh tertinggal dibandingkan rata-rata global. Sebaliknya, waktu screen time, baik untuk media sosial, hiburan, maupun pembelajaran daring, justru melonjak drastis. Sebuah survei dari We Are Social (2023) menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam sehari di depan layar. Pergeseran ini bukan hanya soal pilihan media, tetapi juga berdampak pada pola pikir dan kebiasaan generasi muda.

Screen time dominan menggeser kesempatan untuk membaca buku fisik, yang sebenarnya memiliki manfaat yang tidak tergantikan. Membaca buku fisik tentu saja berbeda dengan membaca melalui layar. Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Scientific American mengungkapkan bahwa membaca buku fisik membantu pembaca untuk lebih memahami dan mengingat informasi dengan lebih baik. Hal ini disebabkan oleh pengalaman taktil, seperti menyentuh halaman, yang memperkuat ingatan melalui keterlibatan indera. Di sisi lain, membaca di layar sering kali membuat pembaca mudah terganggu oleh notifikasi atau elemen interaktif lainnya, sehingga pemahaman dan fokus menjadi lebih rendah.

Bagi para santri dan mahasiswa, tantangan ini semakin terasa. Dunia pendidikan yang kian terhubung dengan teknologi sering kali menuntut mereka untuk terus terhubung dengan perangkat digital. Namun, terlalu mengandalkan layar juga berisiko merusak keseimbangan. Buku fisik, terutama buku dongeng atau literatur klasik, menyimpan kekayaan nilai moral dan budaya yang sulit ditemukan dalam format digital.

Dongeng-dongeng seperti “Si Kancil” tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kecerdikan, dan keberanian. Membaca dongeng atau cerita-cerita lainnya secara langsung dari buku fisik juga dapat memperkuat hubungan antar generasi. Ketika seorang guru, orang tua, atau ustaz menceritakan buku-buku yang pernah dibaca, momen tersebut menjadi ruang interaksi yang mempererat ikatan dan membangun kebiasaan positif.

Untuk mengatasi tantangan ini, langkah kecil dapat dimulai dengan meningkatkan akses dan minat mengunjungi perpustakaan. Perpustakaan tradisional maupun modern harus menjadi tempat yang menarik bagi para santri. Dalam upaya mempermudah akses perpustakaan supaya bisa di-reach out oleh seluruh santri, tim perpustakaan Pondok Pesantren Darul Falah Besongo telah melakukan katalogisasi, labelisasi, dan digitalisasi sekitar 3800 data buku-buku fisik yang ada di perpustakaan pondok pada Maret 2024 lalu. Digitalisasi ini memudahkan para santri dalam mencari penempatan dan ketersediaan buku-buku yang diinginkan, baik secara spesifik judul maupun secara garis besar katalog.

Selain itu, kebiasaan membaca juga harus ditanamkan sebagai bagian dari gaya hidup. Membawa buku fisik saat bepergian, mengalokasikan waktu khusus untuk membaca setiap hari, atau membuat target bacaan bulanan adalah beberapa cara untuk mengurangi ketergantungan pada layar. Buku dongeng, literatur klasik, hingga buku pengetahuan dapat menjadi pilihan untuk memperkaya wawasan.

Pada akhirnya, Hari Dongeng Nasional bukan sekadar perayaan, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga tradisi membaca, terutama buku fisik. Di tengah dunia yang semakin digital, membaca buku fisik adalah bentuk perlawanan halus terhadap distraksi teknologi. Sebagai santri dan mahasiswa, mari jadikan membaca sebagai bagian dari perjuangan intelektual dan spiritual. Jangan biarkan “Si Kancil” benar-benar hilang, melainkan hadir kembali di tangan kita, dalam halaman buku, bukan sekadar di layar.

Oleh: Nabilatus Sa’adah (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo)

Editor: Zakiyah Kibtiah

REKOMENDASI >