Pernahkah kamu berpikir bahwa aktivitas meminta uang jajan kepada orang tua adalah bentuk marketing? Atau bahwa proses ‘PDKT’ memiliki filosofi yang sama dengan strategi pemasaran? Pemahaman unik ini terungkap dalam seminar Digital Marketing & Media Sosial di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo yang dibawakan oleh Ustadz Muhammad Luthfi, S. Pd., M.H., founder Laabudda.cloth dan Besongo.merch.
Marketing dapat dianalogikan sebagai PDKT, dan sales adalah ajakan untuk menikah. Tanpa disadari banyak sekali pebisnis pemula yang ingin langsung mendapatkan penjualan tanpa melalui proses marketing yang tepat, layaknya ingin menikah tanpa melalui proses pendekatan. Setiap orang sejatinya adalah seorang markerter yang biasa melakukan marketing dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu contohnya adalah seorang anak yang minta dibelikan sesuatu kepada orang tuanya. Biasanya anak tersebut melakukan hal-hal baik terlebih dahulu, seperti membereskan rumah, mencuci piring, dan sebagainya.
Bisnis dapat dibedakan menjadi dua orientasi, yaitu entrepreneur dan sociopreneur, tetapi keduanya tetap membutuhkan marketing.
Pertama, entrepreneur yang berfokus pada keuntungan finansial. Menurut Hisrich-Peters dalam Alma, (2011) entrepreunership is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, personal satisfaction and independence artinya entrepreneur adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan seta kebebasan pribadi.
Kedua, sociopreneur yang berfokus pada dampak positif bagi masyarakat. Menurut Dees (1998), Henton, Melville dan Walesh, (1997), Al vord, Brown dan Letts, (2004), Bornstein (1998) dan Ashoka (2000) dalam (Praszkier, Nowak, & Zablocka-Bursa, 2009) mengatakan bahwa sociopreneur berperan sebagai agen perubahan di sektor sosial, dengan melaksanakan misi untuk menciptakan dan mempertahankan nilai sosial (bukan hanya nilai pribadi), mengenali dan memanfaatkan kesempatan baru untuk melaksanakan misi, terlibat dalam proses inovasi berkelanjutan, adaptasi, dan pembelajaran.
Ia menekankan pentingnya memahami segmentasi pasar, yang disebutnya sebagai “seni membelah pasar”. Dalam seminar ini, Ustadz Muhammad Luthfi, S. Pd., M.H. bertanya mengenai merk sepatu. Jawaban dari pertanyaan tersebut masih sangat luas sekali dan banyak dari merk sepatu yang disebutkan. Tetapi kemudian pertanyaan mengkrucut menjadi merk sepatu olahraga saja. Jawaban dari pertanyaan ini juga menyempit dan banyak dari merk sepatu yang di awal disebutkan tereliminasi. Melalui contoh sederhana ini, didemonstrasikan bagaimana segmentasi bekerja dalam mengeliminasi kompetisi dan memfokuskan target pasar.
Dalam era digital ini, sangat penting sekali untuk memahami sudut pandang atau ‘angle’ dalam penyampaian konten. Salah satu contohnya adalah perbedaan cara penyampaian berita antara Tribun News yang mengedepankan kecepatan dan akurasi, dengan MOJOK yang mengambil sudut pandang remaja dengan gaya penyampaian yang lebih santai.
Setiap merek harus memiliki nilai dan identitas yang jelas, karena Branding adalah set of promise. Ia mencontohkan bagaimana Tribun News membangun identitasnya sebagai sumber berita tercepat dan terakurat, sementara MOJOK memposisikan diri dengan konten yang menghibur.
Seminar ini menjadi bagian dari upaya Ponpes Darul Falah Besongo dalam mempersiapkan santri menghadapi era digital. Dengan pemahaman marketing yang disampaikan secara ringan dan kontekstual, para santri diharapkan dapat mengembangkan keterampilan bisnis digital mereka tanpa meninggalkan nilai-nilai kepesantrenan.
Oleh: M. Hanin Fahmi (Santri Ponpes Darul Falah Besongo)
Editor: Zakiyah Kibtiah