USIA UDZHUR, MASIHKAH WAJIB NAIK HAJI?
Oleh Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag
Ketika pertemuan bersama pelaksana haji Asia dalam Muassasah Hujjaj Duwal Janub Syarqi Asia (14/10) di Syisyah Makkatul Mukarromah, saya ditanya beberapa pengelola haji dari Pakistan, mengapa Pemerintah Indonesia mengirimkan orang-orang tua yang lemah dan kurang tenaga berhaji, seolah olah Pemerintah RI memberangkatkan relawan siap mati syahid di Saudi Arabia? Tidaklah dipahami kembali bahwa haji itu ibadah fisik yang membutuhkan tenaga yang prima, kuat dan tangguh? Bahkan ada satu ungkapan lagi yang membuat “nelangsa”, coba prestasi ibadah apakah yang dapat diandalkan orang tua yang didorong diatas kursi roda yang memang tidak dapat aktivitas apa-apa kecuali atas bantuan orang lain.
Ungkapan-ungkapan tersebut secara faktual memang benar adanya. Bahkan saya menyaksikan sendiri betapa banyak jama’ah Indonesia yang tergolong usia tua harus bersusah payah melaksanakan ibadah haji. Dalam perjalanan monitoring ke beberapa maktab SOC atau embarkasi Solo, keluahan yanag hampir sama disampaikan para ketua kloter yang harus mengawal jama’ah haji usia udzur yang tidak didampingi keluarganya. Mulai dari pergi ke masjidil haram, thawaf, sa’i atau bahkan kegiatan harian seperti MCK. Tugas petugas haji adalah memang membantu tercapainya haji mabrur bagi para jama’ah. Akan tetapi apakah konsentrasi pendampingan mesti tertuju pada para orang tua tersebut, yang secara kemanusiaan memang membutuhkan perhatian lebih, meski secara prosentasi kerja cukup membebani mereka? Bukankah orang yang membuat susah orang lain itu sebetulnya patut dipertanyakan keislamannya? Kenapa berangkat haji yang sebetulnya wajib bagi orang yang mampu secara fisik dan finansial itu malah membuat berat dan menyusahkan orang lain? Apa tidak ada cara lain bagi orang yang dalam kategori ini melaksanakan haji dengan bentuk yang sederhana dan tidak memberatkan orang lain?
Dalam konteks umat Islam, haji adalah suatu ibadah yang ditunggu dan didambakan setiap muslim, tidak saja menjadi rukun Islam akan tetapi menggapainya juga membutuhkan perjuangan dan waktu lama. Umat Islam Indonesia jika membayar BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) tahun 2012 diperkirakan akan berangkat tahun 2024. Malaysia daftar tahun yang sama akan berangkat tahun 2029. Pakistan, India, Afganistan, juga mendapat gambaran serupa rata-rata menunggu 8-10 tahun. Orang Saudi Arabia sendiri baru bisa haji, setelah 6 tahun. Intinya, haji, sesuatu yang sudah diharapkan setiap muslim meski mahal dan berat. Bertahun-tahun menunggu sesuatu yang diyakini sebagai kunci syurga, mengharap bertemu dengan Tuhan, bersilaturrahmi dengan Sang Penyelemat umat, Nabi Muhammad bahkan mendamba syafaat secara langsung di Masjid Nabawi, sepertinya tidak dapat ditunda atau bahkan digagalkan oleh hanya sekedar usia tua. Malah malah andai dihendaki harus menghadap Sang Khalik di Makkah atau Madinah adalah suatu kebanggaan dan dambaan umat Islam, wafat dan dikubur di kota suci yang penuh keberkahan.
Lalu sebetulnya bagaimana memahami istitha’ah haji itu? Sebetulnya, Kementerian Agama menjelaskan kata itu dengan ” mampu melaksanakan ibadah haji ditinjau dari segi jasmani, rohani, ekonomi, dan keamanan” dalam buku Tuntunan Praktis Perjalanan Ibadah Haji. Hanya saja, istitha’ah fisik tidak dijelaskan detail, tapi sekedar “sehat dan kuat yang tidak sulit melaksanakan ibadah haji”. Disinilah perlunya pemikiran baru merespon fakta usia lanjut. Secara faktual sebenarnya mereka tidak masuk dalam pengertian mampu versi Kemenag, yang implikasinya mereka tidak wajib haji.
Dalam konteks inilah perlu dipertegas bahwa haji adalah wajib bagi orang orang yang sehat secara fisik, tidak kesulitan dalam melaksnakan rangkaian ibadah haji. Atau dalam kalimat yang tegas bisa disampaikan bahwa haji untuk orang Islam yang sehat jasmani dan rohani, dengan batas umur 17 tahun sampai 63 tahun. Pembatasan ini didasarkan asumsi bahwa usia baligh dimulai umur 17 tahun, meski sudah banyak kasus baligh bisa saja sebelum umur tersebut dan usia 63 tahun adalah usia ideal manusia, diamana Nabi Muhammad wafat pada usia tersebut.
Memang benar usia tua belum jaminan tidak dapat melaksnakan aktivitas normal haji, sebab dalam beberapa kasus orang tua yang usia diatas 60 tahun, ternyata masih sehat bugar dan bahkan lebih aktif dari yang usia muda. Dalam tahun ini saja misalnya, usia tertua haji Indonesia adalah 110 tahun, untuk wilayah Jawa Tengah usia tertua adalah 97 tahun. Namun, itu salah kasuistikmdi luar konsep umum kemanusiaan.
Hanya saja perlu kebijakan khusus mengentaskan haji bagi usia tua. Sebab tidak mungkin menghalangi haji bagi orang orang yang istitha’ah nya secara finansial tercapai di usia udzur. Ambil contoh misalnya, mbah Karto yang bisa membayar BPIH di usia 78 tahun, apakah harus dilarang berhaji? Tentu pelarangan ini adalah sebuah kedholiman yang besar. Karena itu, perintah dalam hal ini kementerian agama perlu melakukan policy khusus memberngkatkan para calon jama’ah haji yang sudah usia udzur secara massal. Tahun ini misalnya sudah ada edaran Dirjen Haji umroh yang mengutamakan usia 87 tahun untuk berangkat haji, meskipun tidak efektif, karena diumumkan di akhir akhir pembayaran tahap kedua. Akan tetapi policy tersebut merupakan langkah yang harus dikembangkan ditahun mendatang.
Tahun 2013 misalnya, Kemenag bisa memprioritaskan para sesepuh tersebut untuk berangkat jauh-jauh hari. Bagi yang tidak melunasi BPIH pada waktu yang ditentukan, maka jatah dan porsi haji diberikan langsung kepada yang aduan mendaftar yang usia tua, misalnya usia 70 tahun. Tidak lagi diberi kesempatan kedua kali bagi yang tidak mendaftar pada tahap pertama tadi. Ketegasan policy ini diperlukan untuk membantu mereka segera ke Baitullah. Tahun berikutnya, misalnya diprioritaskan bagi pendaftar yang usia 65 tahun, begitu seterusnya. Maka dengan implementasi konsisten aturan ini, maka dapat diperkirakan 4 tahun kedepan, akan terentaskan usia 65 tahun untuk malaksanakan haji.
Secara praktikal, tidak mudah melakukan gerakan pengentasan haji bagi usia diataas 63 tahun ini. Akan tetapi, bila dipertimbangkan kondisi riil di pelaksanaan haji dan animo pendaftar yang besar, maka mendesak untuk diambil policy kreatif dan berani dalam kasus ini. Kementerian Agama akan sangat berperan dalam mengatur distribusi usia haji ini, meskipun tidak menutup kemungkinan akan opsi opsi lain dalam pengentasan haji usia tua ini. Disamping itu, yang kesadaran masyarakat Muslim untuk berhaji diusia muda harus ditumbuh-kembangkan. Setiap orang Islam harus diberi motivasi bahwa haji yang mabrur hanya akan dicapai oleh jama’ah haji yang sehat secara fisik yang mampu melaksanakan syarat, rukun dan wajib haji secara maksimal tanpa merepotkan orang lain. Inilah renungan untuk umat Islam bahwa haji harus diniatkan dan diusahakan sesegera mungkin. Para kiyai, da’i dan ustadz harus menyampaikan keutamaan haji di usia muda kepada umat Islam, meskipun terkadang terdapat problem psikologis bagi para kiyai, da’i dan ustadz ustadzah yang belum haji. Akan tetapi, setidaknya semangat haji usia muda menjadi niat dan iktiar yang tidak kenal lelah dan redup. (Ditulis di Hotel Manazil Durrah Hidayah, Maktab 204 Mahbaz Jin, 1 Dzul Hijjah 1433 H).