Disudut sore tempo hari.
Ditengah pengap yang mengukus, gerah.
Dengan kepala penuh kupu-kupu alih-alih taman
Aku sekonyong-konyong bertanya pada Ibu.
Tentang hujan
Yang sudah lama meninggalkan kita.
O, ya. Konon katanya dunia sudah semakin uzur
Mirip seperti ibu, mirip sepertiku.
Dan dua umat kesayangan Tuhan di sudut Bumi lain sedang bertarung.
Ibu hanya menjawab setengah bergurau.
“Mungkin dia marah karena namanya sering dijadikan alasan kamu nggak masuk ngaji.”
Aku tertawa pendek.
“Haha.”
Ku tertegun lagi memandangi pohon delima kering
Yang kini dahannya getas
Padahal dia merona nian dahulu.
Ibu benar.
Mungkin hujan ngambek
Kini aku merasa bersalah kepada hujan.
Dan merasa kasihan dengan delima.
Yang bertelekan lemas dengan lengannya
Menunggu hujan pulang.
Jika aku tahu masa tua akan sepanas ini
Maka mungkin dulu aku akan lebih memilih mati di pangkuanmu.
Atau mati di masa-masa sulit, masa pembebasan itu.
Tanpa peduli lagi dengan harapan
Tapi sayang
Maut tidak mau mengajakku jalan-jalan.
Sajak pertama yang diciptakan Ekajata.
Sekaligus karya pertama yang terbit
Sejak hiatusnya empat tahun lalu