Bepergian atau traveling pada dasarnya merupakan pekerjaan yang dianjurkan agama (mubah). Sama halnya dengan tidur, makan, minum dan semua kebiasaan sehari-hari. Tak ada yang istimewa dari kebiasaan ini kecuali menyulapnya menjadi istimewa dengan niat.
Dewasa ini tradisi jalan-jalan telah menjadi semacam ajang perlombaan oleh generasi milenial untuk menjelajahi Indonesia dan dunia, juga telah menjadi rutinitas yang bahkan dianggap sakral. Ada yang sepekan atau sebulan sekali memiliki jadwal khusus untuk traveling. Mendatangi berbagai macam tempat asing. Tujuannya variatif, ada yang sekedar mengisi waktu kosong, juga ada yang demi memiliki pengalaman-pengalaman yang baru. Pilihannya pun beragam, mulai dari kulineran hingga abadikan momen yang tak ketinggalan.
Namun, yang dimaksud penulis hal ini, bukan traveling dalam arti jalan-jalan yang hanya untuk menghamburkan uang dan sekadar kepentingan eksis di media sosial, memenuhi hasrat gaya hidup kemewahan. Tetapi, lebih seperti jalan-jalan yang mempunyai misi yang ingin dituju, seperti jalan ke Museum, di mana kita akan mengetahui suatu ilmu maupun sejarah yang tersimpan di suatu tempat.
Hal ini tentu saja dapat dikatakan positif bahkan di dalam Islam dianjurkan. Sebab, dengan melakukan traveling ini manusia dapat semakin bersyukur, didukung dengan ilmu psikologi bahwa traveling dibutuhkan untuk refreshing yang dampaknya dapat membuat manusia lebih produktif. Ia madani bi at-tab’I (makhluk sosial), dalam bahasa Ibn Khaldun, dan dengan adanya traveling akan terealisasi interaksi sosial.
Traveling dalam Al-Qur’an
Di dalam Al’Qur’an sendiri terdapat ayat yang berkaitan langsung mengenai hal itu, seperti Surat Al-Mulk ayat 15:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15)
M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, mengatakan,” Dialah yang telah menundukkan bumi sehingga memudahkan kalian. Maka, jelajahilah di seluruh pelosoknya dan makanlah dari rezeki yang dikeluarkan dari bumi itu untuk kalian. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dibangkitkan untuk diberi balasan,”.
Maksud beliau, berjalanlah di berbagai kawasan mengelilingi daerah-daerah untuk kebutuhan pencaharian dan perniagaan. Dan ketahuilah bahwa hanya Allah SWT yang berkehendak untuk memudahkanya.
Melanglang buana atau berkelana adalah dapat memperjelas bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal, kecuali kekuasaan Allah SWT. Dengan berkelana menjelajahi bumi akan menemukan berbagai ilmu serta menyadari atas perihal kefanaan dunia.
Peristiwa Traveling dari Nabi hingga Ulama Sufi
Selain dalam Al-Qur’an, bahwanya Rasulullah juga pernah membuktikan dengan peristiwa Isra Mi’raj. Setelah Nabi Muhammad Saw diberi ujian oleh Allah SWT dengan dua peristiwa; Meninggalnya istri Nabi Muhammad dan sang Paman Abu Thalib atau dikenal dengan ‘Amul Khuzn.
Kemudian, Allah menghiburnya dengan jalan-jalan yakni Isra Mi’raj. Selain berfungsi sebagai hiburan, traveling ini tentu saja memberikan manfaat dan hikmah. Yang paling signifikan adalah wajibnya shalat sebagai tiang agama.
Seorang sahabat bernama Jabir bin Abdillah bersama 10 orang sahabat lainnya melakukan perjalanan berjarak 1.470 km dari Madinah ke Mesir selama satu bulan. Mereka melakukan ini hanya demi mendengarkan satu hadis riwayat Abdullah bin Unais Al-Anshari.
Said bin Al-Musayyib bin Hazn (salah seorang ulama dari kalangan tabi’in), seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqh dari Madinah yang juga salah satu Tujuh Fuqaha Madinah, harus menempuh perjalanan hari demi hari untuk menemui sahabat dan mendokumentasikan hadits.
Imam Syafi’i, menapaki di Madinah karena diperintah oleh gurunya. Kemudian, di Madinah Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik. Tak butuh waktu lama, beliau pun berpindah ke Iraq berguru kepada murid-muridnya Imam Hanafi dan menjadi murid yang terkenal dengan kepintaran dan kecerdasannya.
Kaum muhaddisin merupakan para ulama yang juga memiliki tradisi dalam jalan-jalan. Jika kalian membaca profil Imam Al-Bukhari, Muslim dan penulis-penulis kitab Sunan, tentunya mereka menghabiskan banyak waktu, menapaki ribuan kilometer untuk mempelajari dan mendokumentasikan hadis-hadis Rasulullah Saw.
Ibnu Arabi, seorang sufi agung yang berasal dari Murcia Spanyol, wafat dan dimakamkan di Gunung Qasiwun Damaskus (638 H). Mengunjungi di berbagai tempat dan mendokumetasikan nama tokoh-tokoh yang pernah ditemuinya.
Faedah Traveling yang Bukan Sekadar Healing
Tidak sedikit orang menganggap traveling hanyalah suatu kegiatan yang mengamburkan uang tanpa ada manfaat yang didapatkan. Padahal, banyak faedah-faedah yang didapatkan selama memiliki tujuan positif, diantaranya;
1.Berburu pahala
Salah satunya dapat dijadikan sebagai sarana untuk berburu pahala, asalkan dilakukan dengan niat baik. Misalnya, di setiap perjalanan yang jauh, bersedekah kepada teman yang uang sakunya kehabisan.
2. Mengagumi Ciptaan Allah SWT
Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di luar jika kita saja tidak melihat dengan sendirinya. Siang dan malam, indahnya laut dan pegunungan, serta bumi dan seisinya. Ada banyak hal lain keindahan bumi yang menunjukkan kebesaran Allah SWT, yang mana ketika kita melakukannya dengan tujuan baik akan menimbulkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT berikan.
3. Melihat dunia dengan perspektif baru
Berpergian dapat memberikan kita pelajaran, mengenai hal-hal yang belum pernah dirasakan. Seperti halnya jalan mengelilingi museum atau perpustakaan. Di mana kita akan mengetahui suatu ilmu maupun sejarah yang tersimpan.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwasanya traveling bukan hanya suatu kegiatan untuk memenuhi eksistensi manusia semata. Tetapi, dapat memberikan manfaat-manfaat asalkan dilakukan dengan niatan baik. Kisah-kisah tokoh di atas juga dapat dijadikan contoh bahwasanya dalam perjuangan dan dengan kesabarannya dalam jalan-jalan hanya ditujukan untuk mencari ilmu, menulisnya serta mempelajarinya sehingga menguasainya dengan baik. Keterbatasan transportasi, sulitnya medan dan jauhnya perjalanan tidak menjadi penghalang mencari ilmu.
Oleh: M. Raif Al Abrar (Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)