Di bulan Ramadhan, sebagian besar orang sudah mampu membangun habits atau membiasakan diri untuk membaca dan menambah kadar bacaan ayat Al-Qur’an. Tujuannya untuk mencari ridho Allah SWT, sehingga tercipta relasi antara manusia dengan Allah SWT yang memberi dampak ketenangan hati atau jiwa bagi orang yang membaca Al-Qur’an.
Budaya masyarakat Islam di Indonesia ketika bulan Ramadhan, mayoritas lebih senang membaca Al-Qur’an bersama-sama di Musala maupun di Masjid dengan menggunakan pengeras suara. Ini menjadi salah satu penanda yang nampak bahwa masyarakat muslim sedang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.
Baca Juga: Mengurai Dialektika Hukum Islam di Indonesia
Meski demikian, penggunaan pengeras suara akhir-akhir ini menjadi masalah yang serius, tidak sedikit masyarakat yang merasa terganggu dengan penggunaan pengeras suara ketika ada tadarus Al-Qur’an di malam hari. Mereka terganggu karena terlalu kencang suara yang dikeluarkan sehingga timbul rasa tidak nyaman.
Menurut KH. Muhammad Yusuf Chudlori, yang harus menjadi titik berat dalam Ramadhan adalah intensitas jumlah ayat yang dibaca saat tadarus Al-Qur’an, perlu penargetan khusus ketika tadarus Al-Qur’an di bulan Ramadhan, seperti target satu hari 1 juz, satu kali khatam dalam satu bulan, syukur-syukur bisa tiga kali khatam atau bahkan lebih dalam satu bulan. Ini dilakukan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT, karena sebaik-baiknya amalan ketika bulan Ramadhan adalah tadarus Al-Qur’an, bukan hanya karena pahalanya yang luar biasa, namun juga karena bulan Ramadhan merupakan bulan turunnya Al-Qur’an, sehingga timbul antusias dalam hati masyarakat untuk menyambut bulan Ramadhan dengan rasa bahagia dan penuh semangat.
Baca Juga: <strong>Bagaimana Islam Menanggapi Fenomena Flexing di Medsos?</strong>
Namun, muncul permasalahan baru ketika masyarakat terlalu bersemangat dalam tadarus Al-Qur’an, yakni cenderung menggunakan pengeras suara yang terlalu keras volumenya, sehingga mengganggu orang-orang yang ingin beristirahat pada malam hari setelah lelahnya menjalani rutinitas bekerja dari pagi hari sampai sore hari.
“Kadang-kadang kita itu saking semangatnya tadarus pasang Toa (pengeras suara) kenceng-kenceng di Masjid, sampai berlarut malam lagi. Kalau memang harus memakai pengeras sound, ya sound yang di dalam Masjid saja, kalau tanpa sound ya cukup dengan baca bareng-bareng, atau cukup dengan sound kecil, kasihan tetangga kan terkadang ada yang harus tidur awal karena jam dua malam haus berangkat ke Pasar, jadi abis isya harus istirahat,” ucapnya mencontohkan.
Pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salaf Tegalrejo, Magelang itu kemudian mengklasifikasi hukum membaca Al-Qur’an sesuai dengan permasalahan ini. Ulama yang akrab disapa Gus Yusuf ini menerangkan, bagi yang suka keheningan dalam membaca Al-Qur’an hukum asalnya adalah berpahala. Namun, dapat berubah hukumnya ketika berdampak pada orang lain atau dibaca di waktu dan tempat yang tidak tepat.
Baca Juga: Fenomena Fiqih dan Hukum Islam di Indonesia
“Orang yang butuh keheningan membaca Al-Qur’an itu bagus, asal hukumnya adalah berpahala. Namun, bisa berubah hukumnya ketika tidak memperhatikan tempat dan waktunya seperti, mohon maaf membaca Al-Qur’an di kamar mandi, membaca Al-Qur’an di tengah jalan, sehingga mengganggu orang lalu lalang. Soal waktu, ketika Al-Qur’an dibaca di atas jam 10 malam dengan sound keras, ini bisa menjadi makruh, bahkan bisa menjadi haram karena sikap kita itu yang enggak benar dan enggak pas dengan Toa yang keras,” ujarnya.
Kearifan Lokal masing-masing negara memang berbeda. Budaya di daerah Timur Tengah memang sudah terbiasa membaca Al-Qur’an dengan pengeras suara, karena sudah ada kelaziman yang berlaku dan ada niat serta tujuan yang sama antar masyarakat. Berbeda di Indonesia yang masyarakatnya hidup berdampingan antara muslim dengan non-muslim. Kita mempunyai kewajiban untuk menjaga kenyamanan antar umat manusia, tidak hanya hablum minallah saja yang perlu diperjuangkan, namun hablum minannas juga perlu dipertimbangkan dan kita perjuangkan supaya tercipta kenyamanan antar umat manusia.
Oleh: Ilham Mubarok (Santri Ponpes Darul Falah Besongo Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)
Editor: M. Raif Al Abrar